Jumat, 12 Februari 2010 16:23 Jakarta, NU Online
Pengurus Pusat lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (PP LDNU) mendukung sepenuhnya upaya pihak-pihak yang menolak pengajuan uji materi UU No. 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. PP LDNU Beranggapan bahwa pola hidup masyarakat akan berantakan jika UU mengenai penodaan agama tadi dicabut.
"LDNU beserta seluruh jajaran pengurusnya hingga tingkat terbawah, mendukung sepenuhnya segala upaya untuk menolak gugatan beberapa LSM yang mengajukan uji materi UU No. 1 Tahun 1965 tersebut," terang Ketua PP LDNU KH AN. Nuril Huda dalam perbincangannya dengan NU Online di Jakarta, Jum'at (12/2).
Menurut Kiai Nuril -sapaan akrab KH AN. Nuril Huda, UU UU No. 1 Tahun 1965 ini memberikan perlindungan kepada agama-agama yang ada di Indonesia. UU ini secara filosofis juga didukung oleh kebenaran universal dan kodrat kehidupan bermasyarakat.
"UU ini melindungi kriteria agama dalam koridor Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). bahwa manusia hidup memiliki batasan dan tidak satu pun hal di dunia yang tidak memiliki batasan. Seperti halnya kebebasan seseorang juga dibatasi oleh kebebasan orang lain," terang Kiai nuril.
Karenanya, Kiai Nuril berharap, jangan sampai orang seseorang dapat bebas semaunya mendirikan ajaran sesuai keinginannya. Sebab, lanjut Kiai Nuril, hal ini mengganggu ketertiban masyarakat sekitarnya.
"Kalau semuanya bebas melaksanakan keyakinannya, nanti akan banyak orang yang mengarang-ngarang ibadah dan mengaku mendapat petunjuk langsung dari Tuhan. JIka tindakan seseorang dapat dibenarkan karena dilaksanakan atas keyakinan yang bebas, lalu siapa yang bertanggungjwab dan akan dipersalahkan jika terjadi saling narkis?" tandas Kiai Nuril dengan logat khasnya. (min)
Selasa, 23 Februari 2010
RUU PENODAAN AGAMA : Uji Materi UU Penodaan Agama Belum Segera Diputuskan
Selasa, 23 Februari 2010 03:46 Solo, NU Online
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, menyatakan, UU Nomor 1/PNPS/1965, tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama, sedang proses sidang yang ketiga, dan kemungkinan baru diputuskan pada pertengahan Mei 2010.
Sidang soal UU penodaan Agama di MK, akan memerlukan waktu yang panjang karena melibatkan banyak pihak ingin ikut berbicara dalam hal tersebut.
Hal ini disampaikan Mahfud MD, usai ikuti seminar nasional dalam rangka Dies Natalis UNS ke-34 yang diselenggarakan Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS, di Solo, Sabtu (20/2) lalu.
"Kita sudah tiga kali sidang dan banyak sekali kalangan masyarakat yang ingin menjadi pihak terkait atau ikut berbicara dalam persidangan itu," kata Mahfud.
Namun, MK sudah menunjuk banyak pihak terkait ikut dalam persidangan, yakni semua kelompok agama yang ada di Indonesia di panggil. Mulai dari Agama Hindu, Budhda, Kristen Protestan, Katholik, Islam, MUI, NU, dan Muhammadiyah.
Pada persidangan kedua, kata dia, Majelis Ulama pusat sudah dipanggil dan memberikan pandangan terkait dengan UU tentang penoidaan Agama itu, sehingga dari daerah yang ingin ikut tidak perlu karena cukup bergabung dengan induk organisasinya.
"Kalau semua diikutkan sidang akan lebih lama. Karena, MK saat memutuskan bukan berdasarkan banyak dukungannya. Tapi, Kita diutama nomokrasi atau menegakkan hukumnya bukan demokrasi," katanya.
Menyinggung soal putusannya MK terkait UU penodaan Agama, menurut dia, belum ada karena masih banyak sidang yang harus dilalui dan akan membutuhkan waktu yang lama.
Menurut dia, dalam hal tersebut yang telah terdaftar ada 60 ahli, nantinya akan melakukan uji materi termasuk seorang dari Amerika Serikat bernama Wcolt Durhm.
Bahkan, kata dia, diusulkan bertambah lagi sebanyak delapan ahli yang akan mengikuti uji materi tersebut. Jika persidangan dilakukan setiap minggunya dengan menghadirkan enam ahli, maka diperkirakan pemeriksaan itu akan selesai pertengahan April 2010.
"Jika ahli itu selesai, maka diperkirakan paling lambat pertengahan Mei 2010 sudah ada putrusan. Kalau tidak ada perubahan baru," katanya.
Menurut dia, UU tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama ini, merupakan suatu UU yang paling banyak pihak yang masuk berbicara ke dalam persidangan.
"MK memutuskan tidak berdasarkan banyaknya pendukung. Tapi, berdasarkan kebenaran hukum yang dianut. Kalau banyak-banyak pendukung di DPR yang cocok," katanya.
Sebelumnya sebanyak 42 elemen organisasi masyarakat (Ormas) umat Islam bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Kota Surakarta dan sekitarnya menolak pencabutan UU Nomor 1/PNPS/1965, tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama karena dapat menimbulkan keresahan di masyarakat.
Menurut Ketua MUI Surakarta Zainal Arifin Adnan yang mewakili umat Islam di Solo, penolakan pencabutan UU tersebut sebagai hasil musyawarah dari perwakilan 42 elemen Ormas umat Islam se-Kota Surakarta dalam bentuk "Deklarasi Solo".
Zainal menyatakan, hal tersebut dilakukan karena masyarakat Muslim Surakarta merasa terganggu adanya upaya-upaya pencabutan UU tentang Pencegahan Penodaan Agama oleh tim yang disebut kelompok 11 melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi.(ant/sam)
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, menyatakan, UU Nomor 1/PNPS/1965, tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama, sedang proses sidang yang ketiga, dan kemungkinan baru diputuskan pada pertengahan Mei 2010.
Sidang soal UU penodaan Agama di MK, akan memerlukan waktu yang panjang karena melibatkan banyak pihak ingin ikut berbicara dalam hal tersebut.
Hal ini disampaikan Mahfud MD, usai ikuti seminar nasional dalam rangka Dies Natalis UNS ke-34 yang diselenggarakan Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS, di Solo, Sabtu (20/2) lalu.
"Kita sudah tiga kali sidang dan banyak sekali kalangan masyarakat yang ingin menjadi pihak terkait atau ikut berbicara dalam persidangan itu," kata Mahfud.
Namun, MK sudah menunjuk banyak pihak terkait ikut dalam persidangan, yakni semua kelompok agama yang ada di Indonesia di panggil. Mulai dari Agama Hindu, Budhda, Kristen Protestan, Katholik, Islam, MUI, NU, dan Muhammadiyah.
Pada persidangan kedua, kata dia, Majelis Ulama pusat sudah dipanggil dan memberikan pandangan terkait dengan UU tentang penoidaan Agama itu, sehingga dari daerah yang ingin ikut tidak perlu karena cukup bergabung dengan induk organisasinya.
"Kalau semua diikutkan sidang akan lebih lama. Karena, MK saat memutuskan bukan berdasarkan banyak dukungannya. Tapi, Kita diutama nomokrasi atau menegakkan hukumnya bukan demokrasi," katanya.
Menyinggung soal putusannya MK terkait UU penodaan Agama, menurut dia, belum ada karena masih banyak sidang yang harus dilalui dan akan membutuhkan waktu yang lama.
Menurut dia, dalam hal tersebut yang telah terdaftar ada 60 ahli, nantinya akan melakukan uji materi termasuk seorang dari Amerika Serikat bernama Wcolt Durhm.
Bahkan, kata dia, diusulkan bertambah lagi sebanyak delapan ahli yang akan mengikuti uji materi tersebut. Jika persidangan dilakukan setiap minggunya dengan menghadirkan enam ahli, maka diperkirakan pemeriksaan itu akan selesai pertengahan April 2010.
"Jika ahli itu selesai, maka diperkirakan paling lambat pertengahan Mei 2010 sudah ada putrusan. Kalau tidak ada perubahan baru," katanya.
Menurut dia, UU tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama ini, merupakan suatu UU yang paling banyak pihak yang masuk berbicara ke dalam persidangan.
"MK memutuskan tidak berdasarkan banyaknya pendukung. Tapi, berdasarkan kebenaran hukum yang dianut. Kalau banyak-banyak pendukung di DPR yang cocok," katanya.
Sebelumnya sebanyak 42 elemen organisasi masyarakat (Ormas) umat Islam bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Kota Surakarta dan sekitarnya menolak pencabutan UU Nomor 1/PNPS/1965, tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama karena dapat menimbulkan keresahan di masyarakat.
Menurut Ketua MUI Surakarta Zainal Arifin Adnan yang mewakili umat Islam di Solo, penolakan pencabutan UU tersebut sebagai hasil musyawarah dari perwakilan 42 elemen Ormas umat Islam se-Kota Surakarta dalam bentuk "Deklarasi Solo".
Zainal menyatakan, hal tersebut dilakukan karena masyarakat Muslim Surakarta merasa terganggu adanya upaya-upaya pencabutan UU tentang Pencegahan Penodaan Agama oleh tim yang disebut kelompok 11 melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi.(ant/sam)
Warga Palestina di Hebron Protes Pencaplokan Masjid Ibrahimi oleh Israel
Warga Palestina di Hebron selatan Tepi Barat, hari Senin kemarin (22/2) melakukan unjuk rasa memprotes serta mengecam keputusan pemerintah Israel, yang mencaplok masjid Ibrahimi di kota Hebron sebagai bagian dari daftar warisan arkeologi Yahudi.
Ekspresi kemarahan warga Palestina di Hebron diwujudkan dengan melalui demonstrasi dan mogok massal di berbagai aspek kehidupan termasuk di sekolah-sekolah, universitas dan pasar-pasar, mengutuk keputusan Israel tersebut.
Para pelajar di sejumlah sekolah kota di Hebron melakukan aksi demonstrasi mengecam resolusi Israel, mereka membawa spanduk-spanduk yang mengutuk pasukan pendudukan yang telah melecehkan tempat-tempat suci umat Islam.
Aksi para pelajar tersebut berbuntut bentrokan dengan pasukan Israel di lingkungan dekat masjid Ibrahimi.
Sumber-sumber lokal mengatakan bahwa pasukan Israel menembakkan peluru karet dan gas air mata untuk membubarkan massa, yang di balas dengan lemparan batu dan botol-botol kosong ke arah pasukan Israel.
Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu pada hari Ahad lalu mengumumkan bahwa ia akan memasukkan masjid Ibrahimi di Hebron dan masjid Bilal bin Rabbah serta kuburan Nabu Yusuf di Betlehem dalam daftar warisan arkeolog bersejarah milik yahudi.
Masjid Ibrahimi, namanya mencuat setelah terjadi pembantaian terhadap jamaah sholat Subuh, yang dilakukan oleh seorang pemukim Yahudi bernama Barukh Goldstein pada 25 februari tahun 1994 silam, yang mengakibatkan 29 jamaah sholat subuh syahid, dan sejak itu Israel membagi wilayah Hebron antara Palestina dan Israel. (fq/imo)
Intelektual Sontoloyo
Oleh Ustadz Samson Rahman
Menjadi intelektual itu adalah sebuah posisi terhormat dan terpandang. Dia dihargai, dihormati. Namun mana kala intelektual itu menyimpang maka dengan sangat gampang dia menjadi terjerembab, asfala safilin.
Akhir-akhir ini terjadi gelombang pemberontakan dahsyat luar biasa dan gugatan tak tanggung-tanggung untuk meloloskan agama menjadi terbuka selebar-lebarnya untuk dinodai, dilecehkan, dicemari. Agama yang sakral belakangan ini ingin dijadikan bulan-bulanan oleh para pengasung dan dan para penjual “asongan” liberalism dalam semua tingkatan dan maqamnya. Agama yang hendaknya dilindungi, dibanggakan kini dibuka katupnya lebar-lebar untuk dilempari penghinaan, dijatuhkan martabatnya, diluluhlantakkan tiang-tiangnya dan dirontokkan pondasi dasarnya.
Orang-orang yang mengakui atau diakui sebagai intelektual berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjadikan semua agama “setara” dan sama rata. Konsep setara dan sama benarnya adalah pengkaburan, konsep setara dan tidak ada bedanya adalah penistaan pada pemeluk setiap agama, setiap pemeluk agama dipaksa untuk tidak memiliki privilege dan kebanggaan apa-apa terhadap agama mereka. Mereka ditodong untuk mengakui bahwa setiap agama yang ada di dunia ini setara dan sama-sama.
Mereka diteror oleh doktrin-doktrin yang menakutkan jika mereka tidak mau mengakui dan mendeklarasikan bahwa agama orang lain juga sama benarnya dengan apa yang mereka anut. Teror beragama ini amboynya direnda dan diaksesorisi dengan kata sakti “fundamental of human rights” yang menyihir dunia untuk dijadikan sebagai pengganti agama-agama lama.
Mereka yang dengan konsisten mempertahankan bahwa agama yang mereka anut adalah agama yang paling benar dianggap sebagai penganut agama yang eksklusif, lalu dinaikkan menjadi fanatik, dinaikkan maqamnya menjadi radikal dan ujung-ujungnya mencapai maqam tertinggi teroris…sebuah cara labeling dan branding yang bukan hanya tidak benar tapi juga menyesatkan.
Seorang penganut agama yang taat beribadah dan mengatakan bahwa ibadah yang dia lakukan adalah yang paling benar menurut intelektual liberal akan dianggap sebagai penganut agama yang tertutup dan fanatik. Mereka dilabel menjadi sosok yang menakutkan karena dianggap terlalu komitmen dengan ajaran agama mereka. Tidak terbuka, terlalu tertutup, terlalu saklek dan sebutan miring berat lainnya.
Seorang yang rajin berdakwah dan diperintahkan untuk mengatakan bahwa agama mereka adalah agama yang lurus dipaksa untuk tidak mengatakan itu karena jika hal itu rajin dilakukan berarti dia sedang tidak apresiatif terhadap : inklusivisme, pluralism dan liberalisme. Jualan paling laris di dunia dan dengan dana yang melimpah. Proyek “agama liberal” dianut oleh para intelektual “yang inferiority complex” saat mereka berhadapan dengan peradaban yang selama ini menjadi imam peradaban dunia. Mereka yang menerima konsep “agama liberal” ini adalah para pecundang yang bertekuk lutut saat berasa di depan guru-guru mereka yang telah lama menganut “agama liberal”. Mereka terpaksa “cium tangan” sebagai bentuk pengakuan akan kebenaran konsep-konsep yang disorongkan dan dijajakan. Sebagai murid yang tak berdaya mereka dengan serta merta menerima apa yang diajarkan tanpa reserve karena sebelum bergurupun mereka telah dengan mentah-mentah kagum dan menerima semua doktrin yang mereka ajarkan.
Para liberalis itu tidak lagi menganggap penting simbol-simbol sakral agama.Toh agama nisbi adanya. Tak ada yang mutlak benar. Yang ada mutlak liberal. Agama yang dinodai tidak perlu dibela, tidak perlu dilindungi. Negara jangan cawe-cewe melakukan pembelaan terhadap agama tertentu. Negara harus netral, berdiri di tengah-tengah jangan bela sana bela sini. Sebab kalau ini dilakukan–dalam pandangan mereka—sama artinya dengan menjadikan Negara sebagai Negara agama yang selama ini mereka tentang keras.
Liberalisme sebenarnya bukan hanya akan membuata gama babak belur karena tidak lagi mendapat perlindungan kesakralan ajarannya dari Negara, namun ini juga akan menimbulkan “huru-hara” di masyarakat jika ada para pemeluk agama yang ngamuk karena sakralitas agama mereka dihinakan. Dalam pandangan pemeluk agama liberal netralitas akan melahirkan kebebasan, namun tidak disadair bahwa dengan cara pikir semacam ini mereka telah dengan sengaja akan mendorong keras pemeluk agama untuk melakukan pembelaan sendiri terhadap agamanya karena peran Negara telah dimandulkan oleh penganut agama liberal. Jika terjadi kericuhan di masyarakat siapa yang berhak menjadi hakim. Bukankah para penganut agama itu adalah warga Negara yang seharusnya bukan hanya fisiknya yang mendapat perlindungan tapi seluruh kepercayaan dan keyakinannya mendapat perlindungan oleh Negara agar Negara tidak mengalami kekacauan.
Liberalisme penuh sebenarnya hanya bisa ada di hutan dimana kebebasan mutlak tidak pernah akan digugat dan dipermasalahkan. Liberalisme mutlak akan menyeret kita pada pola hidup dengan perspektif “ragunan”. Dimana penghuninya bisa menghina, memakan yang lain, memojokkan yang lain, meremehkan yang lain. Telanjang bulat, berhubungan badan di depan penghuni lainnya, dan seterusnya. Kebebasan mutlak artinya kita kembali ke zaman purba, tanpa agama.
Menjadi intelektual itu adalah sebuah posisi terhormat dan terpandang. Dia dihargai, dihormati. Namun mana kala intelektual itu menyimpang maka dengan sangat gampang dia menjadi terjerembab, asfala safilin.
Akhir-akhir ini terjadi gelombang pemberontakan dahsyat luar biasa dan gugatan tak tanggung-tanggung untuk meloloskan agama menjadi terbuka selebar-lebarnya untuk dinodai, dilecehkan, dicemari. Agama yang sakral belakangan ini ingin dijadikan bulan-bulanan oleh para pengasung dan dan para penjual “asongan” liberalism dalam semua tingkatan dan maqamnya. Agama yang hendaknya dilindungi, dibanggakan kini dibuka katupnya lebar-lebar untuk dilempari penghinaan, dijatuhkan martabatnya, diluluhlantakkan tiang-tiangnya dan dirontokkan pondasi dasarnya.
Orang-orang yang mengakui atau diakui sebagai intelektual berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjadikan semua agama “setara” dan sama rata. Konsep setara dan sama benarnya adalah pengkaburan, konsep setara dan tidak ada bedanya adalah penistaan pada pemeluk setiap agama, setiap pemeluk agama dipaksa untuk tidak memiliki privilege dan kebanggaan apa-apa terhadap agama mereka. Mereka ditodong untuk mengakui bahwa setiap agama yang ada di dunia ini setara dan sama-sama.
Mereka diteror oleh doktrin-doktrin yang menakutkan jika mereka tidak mau mengakui dan mendeklarasikan bahwa agama orang lain juga sama benarnya dengan apa yang mereka anut. Teror beragama ini amboynya direnda dan diaksesorisi dengan kata sakti “fundamental of human rights” yang menyihir dunia untuk dijadikan sebagai pengganti agama-agama lama.
Mereka yang dengan konsisten mempertahankan bahwa agama yang mereka anut adalah agama yang paling benar dianggap sebagai penganut agama yang eksklusif, lalu dinaikkan menjadi fanatik, dinaikkan maqamnya menjadi radikal dan ujung-ujungnya mencapai maqam tertinggi teroris…sebuah cara labeling dan branding yang bukan hanya tidak benar tapi juga menyesatkan.
Seorang penganut agama yang taat beribadah dan mengatakan bahwa ibadah yang dia lakukan adalah yang paling benar menurut intelektual liberal akan dianggap sebagai penganut agama yang tertutup dan fanatik. Mereka dilabel menjadi sosok yang menakutkan karena dianggap terlalu komitmen dengan ajaran agama mereka. Tidak terbuka, terlalu tertutup, terlalu saklek dan sebutan miring berat lainnya.
Seorang yang rajin berdakwah dan diperintahkan untuk mengatakan bahwa agama mereka adalah agama yang lurus dipaksa untuk tidak mengatakan itu karena jika hal itu rajin dilakukan berarti dia sedang tidak apresiatif terhadap : inklusivisme, pluralism dan liberalisme. Jualan paling laris di dunia dan dengan dana yang melimpah. Proyek “agama liberal” dianut oleh para intelektual “yang inferiority complex” saat mereka berhadapan dengan peradaban yang selama ini menjadi imam peradaban dunia. Mereka yang menerima konsep “agama liberal” ini adalah para pecundang yang bertekuk lutut saat berasa di depan guru-guru mereka yang telah lama menganut “agama liberal”. Mereka terpaksa “cium tangan” sebagai bentuk pengakuan akan kebenaran konsep-konsep yang disorongkan dan dijajakan. Sebagai murid yang tak berdaya mereka dengan serta merta menerima apa yang diajarkan tanpa reserve karena sebelum bergurupun mereka telah dengan mentah-mentah kagum dan menerima semua doktrin yang mereka ajarkan.
Para liberalis itu tidak lagi menganggap penting simbol-simbol sakral agama.Toh agama nisbi adanya. Tak ada yang mutlak benar. Yang ada mutlak liberal. Agama yang dinodai tidak perlu dibela, tidak perlu dilindungi. Negara jangan cawe-cewe melakukan pembelaan terhadap agama tertentu. Negara harus netral, berdiri di tengah-tengah jangan bela sana bela sini. Sebab kalau ini dilakukan–dalam pandangan mereka—sama artinya dengan menjadikan Negara sebagai Negara agama yang selama ini mereka tentang keras.
Liberalisme sebenarnya bukan hanya akan membuata gama babak belur karena tidak lagi mendapat perlindungan kesakralan ajarannya dari Negara, namun ini juga akan menimbulkan “huru-hara” di masyarakat jika ada para pemeluk agama yang ngamuk karena sakralitas agama mereka dihinakan. Dalam pandangan pemeluk agama liberal netralitas akan melahirkan kebebasan, namun tidak disadair bahwa dengan cara pikir semacam ini mereka telah dengan sengaja akan mendorong keras pemeluk agama untuk melakukan pembelaan sendiri terhadap agamanya karena peran Negara telah dimandulkan oleh penganut agama liberal. Jika terjadi kericuhan di masyarakat siapa yang berhak menjadi hakim. Bukankah para penganut agama itu adalah warga Negara yang seharusnya bukan hanya fisiknya yang mendapat perlindungan tapi seluruh kepercayaan dan keyakinannya mendapat perlindungan oleh Negara agar Negara tidak mengalami kekacauan.
Liberalisme penuh sebenarnya hanya bisa ada di hutan dimana kebebasan mutlak tidak pernah akan digugat dan dipermasalahkan. Liberalisme mutlak akan menyeret kita pada pola hidup dengan perspektif “ragunan”. Dimana penghuninya bisa menghina, memakan yang lain, memojokkan yang lain, meremehkan yang lain. Telanjang bulat, berhubungan badan di depan penghuni lainnya, dan seterusnya. Kebebasan mutlak artinya kita kembali ke zaman purba, tanpa agama.
Din: “Ketahanan Pangan Tidak Cukup, Harus Berdaulat”
Banyumas – Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Jatilawang, Banyumas, ahad (21/02) di Desa Tinggarjaya melaksanakan panen perdana padi sawah yang dihadiri oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Din Syamsuddin, Bupati Banyumas; Marjoko, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah, dan Pimpinan Daerah Muhammadiyah se karesidenan Banyumas, Pimpinan Cabang dan Organisasi Otonom se Banyumas.
Dalam amanatnya, Din Syamsuddin menyampaikan bahwa secara nasional memang kita telah mencapai swasembada pangan tahun 2009 yang lalu, tapi swasembada pangan tidak cukup karena masih banyak saudara-saudara kita yang tidak bisa makan. Karena itu kita harus berdaulat dalam hal pangan yang disambut dengan gemuruh hadirin yang memadati pertemuan tersebut.
“Muhammadiyah harus terlibat dalam mendorong kedaulatan pangan dan saya minta prakarsa Pemuda Muhammadiyah Jatilawang ini harus diikuti oleh Pemuda Muhammadiyah lainnya” tuturnya sembari berdialog dengan ketua kelompok pemuda tani “Mlethek Srengenge”, Mahroni yang juga aktivis Pemuda Muhammadiyah Cabang Jatilawang.(Md)
Langganan:
Postingan (Atom)