Selasa, 19 Januari 2010

Komoditas Terlarang dalam Muamalat

Depok, 23 Desember 2009

Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara
Islam mengatur muamalat dengan syariat agar sesuai dengan fithrah manusia


Berbeda dengan sistem kapitalisme yang menganut 'pasar bebas', hukum Islam membatasi kegiatan jual-beli, melarang hal-hal tertentu dalam jual-beli ini. Dalam sistem pasar bebas, secara normatif, memang ada juga batasan-batasan tertentu, seperti larangan monopoli, kartel, penimbunan barang, dsb. Namun, karena azas persaingan bebas yang dianutnya, batasan-batasan normatif ini praktis tidak efektif. Perusahaan-perusahaan yang kuat selalu menang persaingan dan menguasai pasar, yang pada gilirannya mampu memonopoli, membangun kartel, dan menetapkan harga. Adanya undang-undang yang membatasi praktik perdagangan curang pun pada akhirnya tidak mampu mengekang sepak terjang para pelaku bisnis.
Dalam hukum Islam segala bentuk kecurangan dalam perdagangan ini dapat dirangkum dalam kategori besar sebagai riba. Dalam salah satu hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW menyatakan adanya sekitar 70 jenis riba, termasuk di dalamnya adalah monopoli, kartelisasi, penimbunan barang,. pengurangan timbangan, penundaan pembayaran yang terlarang, dan sebagainya. Perbedaan yang lebih nyata, antara sistem perdagangan bebas dan Islam, adalah dalam substansi (barang dan jasa). Dalam muamalat dikenal adanya barang-barang dan jasa yang haram untuk diperjual-belikan.
Jenis larangan lain dalam jual-beli, selain soal riba dan substansi terlarang, adalah cara-cara tertentu dalam jual-beli. Pada pokoknya cara berjual-beli yang terlarang ini adalah yang terkait dengan unsur ketidakpastian (gharar) dan perjudian (maysir). Kedua kategori cara berdagang yang haram ini dapat berbentuk praktek perdagangan yang sangat bervariasi, yang juga memerlukan ruang pembahasan tersendiri. Tulisan ini memfokuskan pada jenis produk yang dilarang (substansinya) untuk diperjualbelikan.
Komoditas Terlarang

Salah satu rujukan yang dapat dipakai untuk memahami soal ini adalah Bidayah al-Mujtahid, karya Ibn Rushd, bab Perdagangan (Kitab al-Buyu). Buku ini disusun oleh Ibn Rushd dengan memperbandingkan berbagai pendapat dari keempat madhhab Islam, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Karenanya buku ini merupakan rujukan yang komprehensif sifatnya.
Menurut Ibn Rushd ada dua kategori benda-benda: benda-benda suci dan tidak suci. Kategori benda-benda yang tidak suci, dan karenanya dilarang diperdagangkan, ada empat kelompok yaitu (1) minuman beralkohol, (2) bangkai, termasuk bangkai dari binatang yang disembelih tanpa mengikuti ketentuan, (3) babi, dan (4) berhala.
Dasar larangan untuk memperdagangkan minuman beralkohol adalah suatu hadits yang menyatakan bahwa 'Dia yang melarang mengonsumsinya, juga telah melarang memperdagangkannya.' Sedangkan untuk bangkai termasuk di dalamnya lemak darinya, yang umum diperjual-belikan oleh kaum Yahudi. Karena mengetahui bahwa mereka dilarang menggunakan lemak, kaum Yahudi mengakalinya dengan menjual lemak ini, dan kemudian memanfaatkan uangnya untuk keperluan lain. Rasulullah SAW mengutuk praktek ini.
Ternak BabiSelanjutnya Ibn Rushd mengatakan bahwa tentang ketidaksucian dan larangan memperdagangkan minuman beralkohol merupakan konsensus, sama halnya dengan soal babi dan segala produknya; kecuali berkaitan dengan penggunaan rambutnya. Beberapa ulama menyatakan dibolehkannya pemakaian rambut babi untuk suatu keperluan. Kelompok benda tidak suci lain, tapi banyak digunakan masyarakat, adalah kotoran makhluk hidup yang lazim dipakai sebagai pupuk (kandang). Para ulama membedakan kotoran ini antara kotoran hewan, yang boleh diperjualbelikan, dan kotoran manusia yang terlarang diperdagangkan. Ada satu benda yang diposisikan secara berbeda oleh ulama yang berbeda, yaitu gading gajah. Ulama yang menganggapnya sebagai bangkai mengharamkannya, tapi yang menganggapnya sebagai sebentuk tanduk, menyamakannya dengan status hukum tanduk, dan membolehkan perdagangannya.
Kelompok benda lain yang perlu dipahami dalam konteks larangan jual-beli ini adalah benda-benda yang dilarang walaupun bukan termasuk tidak suci-atau kesuciannya diperdebatkan. Dalam kelompok ini termasuk kucing dan anjing. Tentang anjing ada sejumlah perbedaan pendapat. Imam Syafi'i sama sekali melarang menjual anjing; Imam Abu Hanifah membolehkannya; para pengikut Imam Malik membedakan antara anjing yang umum digunakan dalam kaitannya untuk beternak atau bertani yang boleh diperjual-belikan, dan jenis anjing lain yang tidak boleh diperjual-belikan. Mereka sepakat jenis anjing yang dilarang digunakan dalam kegiatan manusia dilarang diperjual-belikan.
Demikian juga tentang kesucian anjing dan halal-haramnya untuk mengkonsumsi dagingnya, ada sejumlah perbedaan di kalangan ulama. Imam Syafi'i dengan tegas menyatakan anjing tidak suci, dan karenanya mengharamkan memakan dagingnya. Beberapa ulama Maliki, walaupun Imam Malik sendiri melarangnya, membolehkan mengonsumsi daging anjing. Berbeda halnya dengan kucing, yang disepakati sebagai suci, dan boleh diperjual-belikan.
Benda lain yang serupa dengan kucing dan anjing adalah minyak yang tak suci, walaupun telah jelas ada konsensus tentang larangan mengkonsumsinya. Ulama yang melarangnya pmerujuk pada hadits yang melarang penggunaan minuman beralkohol, bangkai dan babi, tersebut di atas. Mereka yang membolehkan berargumen kalau suatu benda memiliki lebih dari satu manfaat, maka pelarangannya atas satu jenis manfaat tidak berarti merupakan pelarangan pada pemanfaatan yang lainnya.
Namun demikian, menurut Ibn Rushd, kemungkinan ini di luar minuman beralkohol, bangkai, dan babi (yang jelas dilarang dijual). Penggunaan minyak tertentu yang tidak suci dan dilarang dikonsumsi untuk keperluan bahan bakar penerangan, misalnya, atau untuk bahan baku sabun, menurut sebagian ulama dari madhhab Maliki dan Syafi'i dibolehkan. Tapi, menurut Ibn Rushd, dalil ini lemah, karena riwayat lain yang lebih kuat menyatakan larangan baik penggunaannya maupun memperdagangkannya.
Ada satu benda lain yang menarik dibahas, yaitu air susu ibu (ASI). Kita mengetahui istilah mahram, yakni orang-orang yang tidak halal untuk dinikahi karena beberapa sebab. Sebagai contoh, misalnya adik atau kakak kandung, keponakan atau putra atau putri dari kakak atau adik kandung. Mahram yang tidak langsung bertalian dengan darah ialah saudara sepersusuan. Pada umumnya disepakati tiga kali menyusui pada seorang ibu susu akan menjadikan dua anak atau lebih menjadi saudara sepersusuan sehingga mereka, yang berlawanan jenis, tidak boleh menikah.
Air susu ibu begitu penting dalam agama Islam. Para ulama menaruh perhatian sungguh-sungguh dalam hal ini. Ibn Rushd, Imam Syafi'i dan Imam Malik termasuk di antaranya. Imam Syafi'i dan Imam Malik mengizinkan memperjualbelikan ASI yang telah diperas dari seorang ibu, tapi Imam Abu Hanifah melarangnya. Yang membolehkannya menganalogikan ASI dengan air susu sapi. Sedangkan yang melarangnya menyatakan status ASI sama dengan daging manusia, yang dilarang dperjual-belikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar